Mendiang Munir, pejuang HAM yang gugur di atas langit Hongaria akibat arsenik, punya indikator cukup tajam. Katanya politikus busuk termasuk “politikus berdarah”, yakni mereka yang pernah terlibat urusan pemakaian kekerasan berdarah.
Arif Budiman, pejuang kebenaran, juga lumayan galak. Katanya, politikus busuk ialah politikus yang pernah terlibat kasus korupsi, pelanggaran HAM, dan pelanggaran moral.
Antonius Sujata, Ketua Ombudsman, lebih galak lagi. Beliau merinci kategori politikus busuk: terlibat money politics, terpaut tindak korupsi, narkoba, kerap mangkir hadiri sidang, selingkuh, suka bikin kebijakan/peraturan menguntungkan pribadi dengan membebani masyarakat, tidak melaporkan kekayaan milik pribadi secara benar, tidak melaksanakan kewajiban hukum, dan gemar berfoya-foya. (Lihat: Maliki, 2004 mengutip Tempo, 18/01/2004).
Saya ingin tambah dengan beberapa indikator lagi. Politikus busuk ialah mereka yang siap menang, tapi tidak siap kalah. Menang melotot, kalah pun sewot. Bahkan, ada juga yang berupaya mendisain terjadinya benturan di level bawah. Alhasil, bikin kondisi kian runyam.
Istilah politikus busuk memang terasa galak dan keterlaluan. Namun, itulah padanan yang dirasa pas, cocok, dan relevan. Menggambarkan politikus yang egois. Inilah yang membedakannya dengan politikus-baik, politikus-bermartabat, dan punya mobilitas tinggi.
Pilgub Sumatera Selatan beberapa waktu lalau bisa dijadikan satu contoh berharga. Bagaimana seorang Syahrial Oesman memilih untuk tidak melanjutkan konflik. Dengan jiwa besar, ia lebih memilih kepentingan yang jauh lebih agung ketimbang syahwat politiknya sendiri. Dia telah berhasil menaklukkan ambisi jangka pendeknya guna memberi ruang pada jangka panjang yang lebih besar dan urjen. Inilah negarawan sejati. Dan banyak contoh lain. Saya yakin, selisih perolehan suara yang tipis, akan menjadi penyulut konflik pemilihan pada sejumlah daerah di Indonesia masa mendatang. Dan ini sudah terpola.
Harapan kita, jangan sampai ada yang golput (tidak memilih). Hak memang suatu yang patut diterima. Tapi, akan jauh lebih baik jika kita gunakan hak itu sepenuhnya guna harapan perbaikan nasib.
Justru itu, mari kita ekstra-cermat dalam memilih. Pilihlah yang memiliki pengalaman dan kompetensi yang teruji. Jangan pilih yang gemar tebar janji, lantas bikin sakit hati. Ogah pilih yang suka pasang muka, tapi bikin kita murka. Pilih yang tidak cuma pinter bicara keras, tapi juga yang mau kerja keras. Pilih yang punya tawaran penyelesaian masalah, bagian dari solusi. Ayo pilih yang giat kerja tanpa penyakit tebal muka, penyakit enggan dengar aspirasi, sampai bolos kerja.
Di Amerika Serikat (AS), ada seorang muda kulit hitam, Barack Hussein Obama, yang berhasil memukau sebagian besar warga Paman Sam dengan tawaran kampanyenya yang amat terkenal, The Audacity of Hope (Keberanian untuk Berharap/Menerjang Harapan). Slogan “change” (perubahan) pun melengkapinya. Barangkali di sini juga ada yang terinspirasi dengan gaya Obama memilih jargon, gaya berpidato, atau mungkin tampilan lainnya.
Seperti halnya di AS, untuk Indonesia, hope (harapan) dan change (perubahan) bisa jadi kenyataan, atau justru tidak sama sekali. Keadaan rentang lima tahun ke depan (2009-2014) akan sangat ditentukan oleh sebagian besar kita sebagai pemilih/konstituen. Mau pilih yang baik atau pilih yang busuk?
Bayangkan jika Anda memilih politikus busuk di Pemilu depan. Dipastikan, sebagian besar kita, kelak bakal begini-begini terus. Kurang sandang, kurang papan, kurang pangan. Saya yakin, penyakit hati bakal tambah bersemi. Mulai dari pusing, mual, jantungan, sakit hati, sampai ke celoteh-celoteh sendirian.
Memang tidak ada yang menjamin perbaikan di negeri ini secara cepat. Obama pun tidak punya tongkat ajaib ataupun rumus simsalabim untuk mengurangi semua masalah. Tapi, harapan akan selalu ada jika amanah diserahkan kepada yang ahlinya, bukan yang busuk. Jika tidak, tunggu saja kehancurannya.
Anda bahkan bisa jumpai poli-tikus (banyak tikus) yang nyambi jadi politikus. Ya, itu juga politikus busuk. Ayo pilih politikus baik, bukan politikus busuk. Pilih yang bikin sebagian besar kita senyum karena cukup kenyang, bukan yang bikin kita nangis kelaparan. Pilih yang bantu bikin sebagian besar kita hidup layak-bermartabat, bukan yang bikin kita rusak dan terhenyak.
Syahdan, sebagian besar politikus baik sudah banyak bermunculan. Bisa jadi mereka capres, cawapres, calon anggota DPD, caleg untuk DPRD provinsi atau kabupaten/kota. Untuk diingat, politikus baik ialah mereka yang tidak lagi menambah keringat, air mata, dan bahkan darah menetes sia-sia. Bukan pula mereka yang nantinya pro-pemodal asing, hobi jual aset negara, menelurkan undang-undang yang secara perlahan memangkas tanggung jawab negara dalam menghidupi rakyatnya.
Politikus bersih punya syarat yang berat: bisa bantu sebagian rakyat untuk bangun fasilitas kesehatan, pendidikan terjangkau, akses air bersih ke semua pelosok, hunian yang ada instalasi listriknya, bantu bangun jalan dan jembatan yang menopang kehidupan rakyat. Lebih mendesak lagi, rakyat butuh politikus yang tidak enggan berpikir untuk kurangi pengangguran dan ciptakan rasa aman. Daya beli rakyat secara ekonomi harus meningkat.
Inilah kebutuhan mendasar rakyat. Politikus wajib membantu. Baik di tingkat lokal, provinsial, dan juga nasional. Makanya, periksa alam di sekitar Anda. Awas, mana tau ada tikus dan politikus busuk.
Persoalan siapa politikus busuk itu, saya tidak tahu. Anda tentu cendekia dalam menelaah. Bagaimanapun, “politik” itu penting untuk memperoleh kekuasan dengan cara konstitusional, beretika, bermoral, dan bermartabat. Akan tetapi, politikus busuk melakukan, yang oleh Zainuddin Maliki (2004), disebut sebagai political decay (pembusukan politik). Pastinya, tidak semua politikus itu busuk. Banyak juga yang bersih lagi baik. ***
IWAN SULISTYO, Mahasiswa FISIP UI
kemana aja mas… gak nongol2 lagi??
Wah, Mas Catra,
Saia lg terforsir tenaga, wktu, n pikiran tuk TA….
Doakan, smoga lancar n bs dipertanggungjawabken scara ilmiah, terutama pada aspek metodologinya… 🙂